Detail

Blog Image

DAMPAK PSIKOLOGIS PASIEN COVID-19 DAN CARA MENGATASINYA

Andika F. Setiadi, AMd. Kep.

Hai nama saya Andika, teman-teman memanggil saya Dika. Saya adalah perawat di sebuah rumah sakit khusus milik Kementerian Kesehatan RI. Saat  menulis ini, saya terinfkesi COVID-19 dan sedang menjalani masa pemulihan di hari ke 25. Perjalanan saya terinfeksi COVID-19 dimulai pada Sabtu 23 Januari 2021, badan terasa demam, nyeri sendi  dan tidak nyaman. Kondisi tersebut tidak berangsur membaik hingga pada Selasa 26 Januari 2021 saya melakukan tes darah lengkap dan widal, pada tes tersebut widal saya dinyatakan negatif namun nilai trombosit turun dari batas normal.

Merasa ada yang tidak beres dengan kondisi tubuh, saya memutuskan untuk melakukan rapid antigen dan hasinya positif. Berbekal hasil rapid antigen positif dan kondisi badan yang tidak kunjung membaik pada Rabu 27 Januari 2021 saya menjalani rawat inap di rumah sakit tempat saya bekerja. Selang berjalan waktu Sabtu 30 Januari 2021 kondisi tubuh mengalami pemburukan di saat yang sama saya dinyatakan positif terinfeksi COVID-19 melalui tes PCR. Saya mengalami sesak nafas dan harus menggunakan bantuan oksigen karena pada saat itu saturasi oksigen di tubuh saya turun hingga 88%. Minggu 31 Januari 2021, kondisi semakin memburuk dengan hasil CT Scan Thorax banyak infiltrat hampir di seluruh paru. Dokter penanggung jawab memutuskan untuk merujuk saya ke rumah sakit dengan ketersediaan ventilator.

Meski saya seorang nakes, di saat seperti ini bukan hal yang mudah untuk mencari rujukan COVID-19. Segala upaya dikerahkan untuk mendapatkan tempat rujuk dengan ketersediaan ventilator. Pertolongan datang pada Senin 1 Februari 2021, dini hari saya dirujuk ke sebuah rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.

Sesampai di rumah sakit rujukan saya langsung menggunakan ventilator, menggantungkan hidup pada sebuah alat yang dapat memberi asupan oksigen saat paru-paru saya tidak bisa bekerja optimal. Memakai ventilator dengan kadar FiO2 90% menjadi tantangan yang harus saya taklukan, dengan kadar oksigen tinggi membuat mukosa mulut dan bibir kering. Tenggorokan kering, setiap 10 menit saya harus meneguk air agar tenggorokan tidak kering. Makan susah, mau minum susah, tapi saya tidak mau menyerah.

Saya direkomendasikan untuk menjalani terapi Plasma Konvalensen sebanyak 4 kantong. Saat ini mencari donor Plasma Konvalensen sangat susah, tapi lagi-lagi saya masih diberikan perlindungan. Saya mendapatkan 4 kantong plasma dalam waktu kurang dari 30 menit. Rasanya seperti mukjizat.  

Hari-hari saya lalui dengan berat, malam susah tidur, mengalami mimpi buruk. 1 Minggu dirawat di ICU saya mengalami  gangguan psikologis, perasaan takut, cemas, bunyi monitor yang terus berbunyi tanpa henti, melihat pasien meninggal silih berganti. Pikiran menjadi kacau dan saya mengalami panick attack. Kondisi ini malah memperburuk keadaan, kadar FiO2 yang sebelumnya sudah diturunkan di level 40% harus dinaikan kembali menjadi 80% karena saturasi oksigen semakin turun dan nadi semakin tinggi.

Kebetulan saya berjodoh dengan seorang Psikolog, paginya saya menceritakan kegelisahan saya dan istri menyarankan untuk melakukan terapi psikologi untuk diri sendiri. Pada terapi psikologi tersebut saya berucap sambil memegang bagian tubuh yang sakit. Contohnya setiap saya merasa sesak, saya memegang dada dan mengelusnya sambil berkata

“Alhamdulillah, terima kasih paru-paru kamu telah bekerja dengan baik, maaf ya jika kamu lelah, Tuhan akan menguatkanmu, mengusir lelahmu, menghilangkan sakitmu. Paru-paru kamu sehat-sehat ya. Bantu aku untuk tetap kuat, tetap semangat.”

Bagi sebagian orang kalimat tersebut terdengar konyol, nyatanya kata-kata tersebut ampuh menenangkan diri saya. Ketika diri sudah tenang kondisipun berangsur baik, saturasi stabil di angka 97% dengan FiO2 65%.

Satu minggu setelah dirawat saya berhasil lepas ventilator dilanjutkan menggunakan masker oksigen beberapa hari dan saat saya menuliskan pengalaman ini saya hanya menggunakan nasal canul atau selang oksigen

Senin 8 Februari saya menjalani tes usap PCR, hasilnya masih positif si virus enggan pergi dari tubuh saya. CT value 34,07 yang artinya mendekati ambang tertingi untuk tidak menularkan.  Rabu 10 Februari 2021, saya berhasil pindah dari ICU menuju HCU karena sudah tidak lagi membutuhkan perawatan dan pengamatan intensif.

Dari pengalaman berjuang melawan COVID-19 dapat saya simpulkan kunci pengobatan COVID-19 adalah tenang dan sabar. Di saat kita tidak tenang dan tidak sabar maka semua sistem tubuh terganggu. Terutama sistem pernafasan, karena yang diserang covid adalah sistem pernafasan. Ketika kita marah, panik, cemas otomatis akan meningkatkan  kecepatan nafas kita, kecepatan detak jantung kita nah inilah yang akan membuat kondisi tubuh semakin menurun karena suplai oksigen darah juga ikut berkurang karena paru-paru pasien dengan COVID-19 tidak dapat bekerja sempurna.

Saat ditanya kondisi mental saya saat ini saya pasti menjawab saya sangat bahagia, bersyukur.

Meskipun saat ini kadang masih terasa sesak nafas, kadang batuk, tapi saya bahagia saya bisa melampauinya sejauh ini. Semua perjuangan yang berat  hampir terlewati. Saat ini saya akan berbagi tips bagi pasien COVID-19 yang saat ini sedang berjuang untuk sembuh sama seperti saya.

  1. Tanamkan mindset bahwa COVID-19 bisa sembuh dan bukan akhir dari segalanya.
  2. Pasrahkan diri pada Tuhan, semakin kita pasrah, kita akan semakin tenang menjalani perawatan.
  3. Hilangkan pikiran negatif dan ketakutan yang timbul dari diri sendiri yang akan memicu panic attack.
  4. Perbanyak relaksasi, terapi psikologis dan berdoa.
  5. Ketika banyak orang yang memberikan support jadikan itu sebagai motivasi kuat bagi Anda untuk segera
  6. Nikmati waktu yang ada, ketika bosan hanya tiduran di bed rumah sakit, gunakan waktu untuk berjalan-jalan, latihan pernafasan, peregangan otot.
  7. Jika bosan melanda boleh juga kok nonton film atau main game di handphone, tapi jangan terlalu lama, karena kondisi tubuh dan mata akan lelah.
  8. Hitung nikmat yang Tuhan berikan pada kita sampai saat ini, itu akan jadi penyemangat diri untuk terus berjuang.
  9. Syukuri pencapaian apapun yang didapat dari perawatan saat ini.
  10. Sesering mungkin berkomunikasi dengan keluarga atau orang terdekat melalui video call atau telepon.

Saat ini saya merasa tenang, ikhlas dan bersyukur atas semua yang telah saya capai untuk kesembuhan saya. Untuk pejuang COVID-19 yang tengah dirawat tetap semangat yaaa.. kita sedang berjuang bersama. Jangan merasa sendirian.

Kategori

Terkini

Tags

Testimonials